Berbicara mengenai universalitas warna kita akan selalu berhadapan dengan persepsi yang berlaku secara umum. Merah, misalnya melambangkan keberanian dan juga mereflesikan energi di satu sisi serta kemarahan di sisi yang lain. Lalu ada warna hitam yang selain melambangkan kegagahan dan kejantanan, ia juga berarti suram, kelam dan ‘dekat’ dengan kematian dsb.
Namun ada yang menarik dari catatan mengenai warna, ternyata persepsi masyarakat secara universal juga pernah berubah. Salah satunya adalah warna merah muda yang sangat berlawanan dengan apa yang saat ini kita ‘imani’.Setidaknya hal itulah yang diungkap oleh Gender Specific Colors dalam situsnya (
www.histclo.com/gender/col/col-pink.html) yang mengutip Surat Kabar terbitan Amerika, The Sentinal edisi 29 Maret 1914.
Dalam terbitan itu, koran tersebut menyarankan para ibu menggunakan warna merah muda untuk dipakaikan pada anak laki-laki dan biru untuk anak perempuan.Kemudian situs itu juga mengutip pernyataan sebuah majalah wanita terbitan Juni 1918, kira-kira begini kutipannya: “Memang ada perberdaan yang besar, tetapi umumnya menyetujui bahwa warna merah muda itu untuk cowok dan biru untuk cewek.
Alasannya adalah merah muda adalah warna yang determinan dan kuat, cocok untuk laki-laki, sementara biru yang lebih ‘rapuh’ pas untuk perempuan—Ladies Home Journal, Juni 1918”Mungkinkah berubah?Lalu kapan persepsi warna itu kemudian bisa berubah 180 derajat? Situs itu juga mencatat bahwa pada tahun 1930 bangsa Jerman melalui NAZI menggunakan merah muda sebagai warna yang identik dengan perempuan. Uniknya, warna-warna dan berbagai simbol dijadikan NAZI untuk mengelompokkan komunitas-komunitas dalam masyarakat.
Pada bagian lain, di situs itu juga menyebutkan pernyataan Jo B. Paoletti and Carol Kregloh, Kepala Kepala Departemen Anak-anak di Claudia Brush Kidwell and Valerie Steele yang dikutip oleh Smithsonian Institution Press pada edisi Men and Women: Dressing the Part tahun 1989, bahwa warna merah muda untuk perempuan dan biru untuk laki-laki tidak menyeragam digunakan sampai 1950.
Mungkinkah persepsi warna, untuk merah muda, yang kita ketahui saat ini bermula dari persepsi yang ‘dipaksakan’ dibangun oleh “Babe Kumis Hitler”? Pertanyaan selanjutnya adalah, mungkinkah di masa akan datang persepsi warna dapat berubah atau setidaknya diperbarui?Hal ini menarik untuk dijadikan studi kasus. Kalau jawabannya tidak, berarti kita harus puas dan nrimo dengan apa yang ada sekarang tanpa harus mencari-cari platform persepsi warna baru lagi.
Sedangkan Kalau jawabannya ya, siapa yang berwenang atau setidaknya dapat mengubah opini secara signifikan? Lalu, masih relevan-kah tren warna yang tercipta pada psikologi warna?Ada lembaga non-profit berbasis di Alexandria, Amerika bernama Color Marketing Group (
http://www.colormarketing.org/) yang memprediksi warna-warna yang akan menjadi tren di tahun-tahun mendatang. Salah warna yang akan menjadi tren adalah rosy pink (merah mudah mawar) yang bakal menjadi punchy, eye catcher.
Lebih jauh lembaga ini memprediksi tempat-tempat yang akan menggunakan warna ini, hotel dan restoran misalnya.Namun, apakah lembaga seperti ini berpengaruh luas dalam perubahan persepsi warna di masa datang? Jawabannya mungkin akan sangat tergantung pada pelaku-pelaku desain dan seni rupa itu sendiri.
Take it or leave it!Ide yang mungkin konyol dari penulis (atau bisa saja brilian?) untuk desainer, perupa dsb orang yang berkaitan dengan warna—batasan antara ide konyol dan brilian terletak pada implementasi, anonyme—yaitu menghilangkan batasan-batasan persepsi dan psikologi warna. Mencoba mengaplikasikan warna pada karya kita sesuka hati tanpa perlu repot-repot berurusan dengan persepsi apalagi psikologi yang membatasi, bebas saja! Persepsi bisa dibangun kemudian!
What do you think?